“Kami sudah beri kami punya jiwa…” (Krawang-Bekasi, Chairil Anwar, 1948).
Betapa tidak, untuk membuat alunan musik para kumpulan (band) anak-anak muda yang marak belakangan ini, modalnya cukup dengan dua buah gitar listrik saja (melodi dan bass), seperangkat drum, ditambah keyboard jika ada, dan bergaya di atas panggung dengan atraksi yang hampir mirip antara satu kumpulan dengan kumpulan yang lainnya. Liriknya pun, seputar cinta menye-menye belaka.
Saya tak bermaksud untuk katakan, bahwa semua kumpulan musik Indonesia hari ini seperti itulah adanya. Tidak juga. Ada juga beberapa kumpulan musik dan penyanyi solo yang tidak begitu. Mereka masih mencoba mencari “jati diri” mereka sendiri dengan kreasi yang berbeda. Menyampaikan pesan-pesan moral dan nilai-nilai luhur bangsa dalam musik mereka, baik dalam lirik atau pun dalam latar video klip.
Tapi, golongan yang terakhir ini, sangat sedikit sekali jumlahnya, masih kurang dalam hitungan sepuluh jari. Semestinya, mereka ini yang diberi apresiasi lebih oleh para stasiun televisi Indonesia.
Itulah fenomena musik “modern” kita hari ini. Di lain sisi, fenomena itu melupakan kita akan khasanah musik hasil cipta bangsa sendiri, salah satunya Keroncong. Padahal, ini adalah sebuah “musik yang kaya”. Lihat saja, berapa alat musik yang mesti dipadu untuk menajakan jenis musik ini? Banyak sekali. Kalau tak cukup perangkat musiknya, maka ia tidak akan bernama musik Keroncong. Liriknya, tak melulu seputar cinta. Pesan-pesan moralnya juga ada disana; imajinya dalam, menyangkut perjuangan, nilai luhur budaya, keyakinan, keteguhan, semangat, dan optimisme.
Untuk menyatakannya sebagai salah satu jenis musik yang berasal dari Indonesia, tentu saja akan mengundang perdebatan. Apalagi bila mau dirunut sejarah dan turunan musik ini. Tapi, untuk membuktikan hal itu sebenarnya tak perlu repot. Cukup lihat dan perhatikan “cengkok” lagu Keroncong ini ketika dinyanyikan. Bangsa mana yang bisa persis seperti bangsa Indonesia ketika menyanyikannya?
Ini sama halnya dengan musik dangdut, ada yang katakan berasal dari India. Tapi, apakah sama warna musik dangdut India dengan dangdut Indonesia? Tak satupun bangsa lain yang bisa menyanyikan lagu dangdut Indonesia sebaik bangsa Indonesia menyanyikannya. Saya pernah lihat sebuah pementasan musik di Kuala Lumpur beberapa tahun yang lalu. Di acara itu, dinyanyikan juga beberapa buah lagu dangdut Indonesia oleh artis-artis Malaysia. Tak satu pun dari mereka yang dapat mengikuti “cengkok” dangdut itu dengan sempurna.
Meski demikian, yang saya salutkan, mereka mewarnai musik dangdut itu dengan latar tari budaya yang mengagumkan dan santun. Kita sendiri, di sini, malah berusaha menciderai citra musik dangdut ini dengan goyang ngebor, goyang patah-patah, dan goyangan tak senonoh lainnya. Akhir-akhir ini, malah tambah parah, muncul juga musik dangdut dengan lirik yang tak pantas. Bagaimana mungkin musik ini akan berkembang dengan baik bila kita sendiri yang berusaha merusaknya?
Lain kasus dangdut, lain pula kasus keroncong. Kalau dangdut kita “berusaha” merusaknya, keroncong kita “berusaha” melupakannya. Ah, soal musik kan soal selera? Boleh jadi. Tapi, tidak seratus persen benar. Persoalan menyukai ini juga persoalan kebiasaan dan membudayakan. Salah satu yang berperan penting dalam usaha melupakan keroncong ini – sekali lagi, maaf – adalah peran para stasiun televisi kita. Merekalah yang jarang – atau malah tidak pernah – melirik lagi musik ini untuk menjadikannya sebuah tayangan yang bernilai.
Maka, jangan salahkan orang lain, bila suatu waktu keroncong juga “dicuri” oleh bangsa lain. Kitalah yang salah, karena tak “berusaha” mencintainya. Jangan salahkan orang lain, kalau lima tahun yang akan datang tak ada lagi orang Indonesia yang pandai menyanyikan lagu keroncong. Salah kita sendiri.
Saya kira, dalam istilah Melayu, keroncong ini adalah salah satu “permata yang ada dalam genggaman”, tapi kita masih saja berusaha mencari “kaca yang bersadur keemasan”. Tak salah saya kira, sebelum terlambat, mulai hari ini, kita gali kembali potensi musik ini lebih dalam. Membiasakannya, membudayakannya. Jangan gagap lagi untuk berkata “I love Keroncong”. Kalau citra musik ini melekat pada kita, tak perlu sertifikasi untuk menyatakannya sebagai salah satu hasil cipta anak bangsa, budaya kita.
Jangan sia-siakan perjuangan pahlawan kita. Untuk mempertahankan budaya luhur bangsa ini salah satu alasan mereka berjuang. Apa yang tak mereka korbankan untuk itu? Sampai-sampai, mereka katakan juga bahwa “kami sudah beri kami punya jiwa…”
0 komentar:
Posting Komentar